Nabi Muhammad SAW
tidak pernah menyatakan dirinya mempunyai kelebihan sifat supra-manusiawi. Dia
tetap ingin menjadi ‘seorang hamba yang kepadanya wahyu diturunkan’ (QS.
Fusilat 41 : 5). Ketika Nabi ditantang oleh masyarakat Makkah untuk menunjukkan
mu’jizat, dia selalu mengatakan bahwa dirinya hanya menerima wahyu ilahi dalam
bahasa Arab yang sangat jelas, sambil mengutip firman Allah, “ Katakanlah, Aku tidak mengatakan kepadamu
bahwa khazanah Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang gaib. Juga aku
tidak mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku hanya mengikuti apa
yang diwahyukan kepadaku”, (QS. Al An’am 6 : 50). ”Mengapa tidak diturunkan
kepadanya mu’jizat-mu’jizat dari Tuhannya. (jawablah) : Sesungguhnya
mu’jizat-mu’jizat itu terserah Allah. Sesungguhnya, aku hanya seorang pemberi
peringatan yang nyata”, (QS Al-Ankabut 29 : 50). Meskipun masyarakat Makkah mempunyai kefasihan berbahasa dan
puisi-puisi tradisionalnya sangat tinggi mutunya, namun mereka tidak mampu
menggubah satu kalimat pun yang dapat disandingkan dengan Al-Qur’an, baik dalam
bentuk maupun isinya. “Seandainya
seluruh manusia dan jin berkumpul untuk membuat gubahan seperti Al-Qur’an ini,
mereka tidak akan mampu membuat seperti itu, sekalipun mereka saling
bantu-membantu”,(QS Al-An’am 6 : 37)
Ketika Nabi mengemukakan doktrin hari kiamat, masyarakat Makkah
menanyakan kepadanya (sambil mengejeknya), kapankah terjadinya. Nabi hanya
menjawab bahwa dirinya tidak diberitahu kapan terjadinya, seraya mengatakan
bahwa dirinya hanya seorang pemberi peringatan yang
nyata (QS AL-A’raf 7 : 187-188)
Dalam beberapa
bagiannya, Al-Qur’an menunjukkan bahwa Nabi Muhammad mempunyai peran yang
istimewa. Jika Allah mengajarkan ‘nama-nama’ kepada nabi Adam, maka Allah mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad (QS. Al-Rahman 55 : 2). Apa yang diucapkannya adalah wahyu Allah (QS.
Al-Najm 53:4). Karenanya, umat Islam
diwajibkan mengikuti tauladan Nabi. “Hai orang-orang
beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul semoga kamu memperoleh rahmat:, (QS. Al-Imran 3:122). Taat kepada Nabi, adalah tanda taat dan cinta
kepada Allah, “Barangsiapa yang
taat kepada rasul maka dia taat kepada Allah”, (QS. Al-Ahzab 33 : 21). “Apa saja yang
diberikan rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa saja yang dilarangnya, maka
tinggalkanlah”, (QS. Al-Hasyr 59:7). Kepatuhan kepada rasul
memainkan peranan yang penting dalam perkembangan spiritual Islam. Bahkan
seperti dinyatakan oleh Frithjof Schoun dalam bukunya Islam and Porenial Philosophy (London: 1976,
hal.96), ketika membahas proses pencapaian maqam kesufian al-Hubb (cinta kepada Allah ) : “jika engkau ingin
Allah mencintaimu, maka engkau harus mencintai rasul-Nya dengan mengikuti
sunnahnya”. Ini seperti yang dipesankan Qur’an “Jika kau
benar-benar cinta kepada Allah, maka turutilah aku, pasti Allah akan
mencintaimu dan sekaligus mengampuni dosa-dosamu”, (QS. Ali Imran 3 : 31). Imitatio Muhammadi (peniruan terhadap
tindakan Nabi Muhammad atau ittiba’ Nabi), inilah yang ditekankan oleh pesan al-Qur’an diatas. Para sahabat Nabi
berusaha menirunya sedetail-detailnya, bahkan sampai pada tingkat seharfiyah
mungkin. Ketika Umar, seorang sahabat Nabi yang terkenal keras itu, akan
mencium hajar aswad, masih mengatakan: “Seandainya
aku tidak melihat Nabi menciummu, pasti aku tidak akan menciummu”, (al-Bukhari)
Bila Nabi hendak tidur, Kata Aisyah, dilipatkanlah
tangannya dan membaca surat
Qul Huwallahu ahad, dan muawwidhatan
(surat al-Falaq dan al-Nass), lalu mengusapkan tangannya ke seluruh tubuhnya.
Tidak hanya itu, Nabi Muhammad
juga mengatakan: “ Aku
memohon ampunan seratus kali setiap hari ”,
meskipun ungkapan ini secara harfiyah tampaknya bertentangan dengan doktrin ishmah (kemaksuman)
Nabi, yaitu bebas dari dosa dan cacat moral. Namun, dengan doanya ini, betapa
Nabi tampak sangat rendah hari dari segala keunggulan yang dimilikinya. Ittiba’ Nabi
itu meliputi semua aspek kehidupan, baik perilaku, ucapan, sikap mental dan
kualitas spiritualnya.
Nabi
juga mengajarkan norma-norma etika yang universal. Seseorang bertanya
kepadanya. Apakah kebaikan itu? Jawabannya: “Kebaikan itu adalah jika jiwa
merasa damai dan hati merasa tentram, dan dosa ialah yang menimbulkan kegelisahan
dalam jiwa dan kegalauan di dada”. Dan ketika ditanya oleh seseorang, apakah
Islam yang terbaik itu, Nabi menjawab, “Islam
yang terbaik adalah bahwa kamu memberi makan kepada orang yang lapar dan
menyebarkan kedamaian (salam) diantara orang yang kamu kenal maupun yang tak
kamu kenal” (Al-Bukhari).Info K
Dikisahkan bahwa ada seorang yang datang
kepada Nabi dan berkata kepadanya: “Aku mencintamu, hai Rasulullah”. Nabi menjawab : “Bersiaplah menerima kemiskinan”. Kemiskinan material yang
dialami oleh Nabi dan keluarganya telah menjadi tema penting dalam tradisi
sufi. Bahkan putrinya, Fatimah, (seperti dikisahkan dalam tradisi ahl-bait), mengalami kelaparan
bermalam-malam. Kisah-kisah yang menggetarkan jiwa ini haruslah ditempatkan
dalam konteks yang tepat. Kemiskinan yang dialami oleh Nabi itu adalah hasil
bentukan proses sosial zamannya. Jika demikian, maka pesan Nabi tentang
kemiskinan itu, apa maknanya? Dengan sabdanya itu, seolah-olah Nabi ingin menyampaikan bahwa kecintaan kepada
kaum miskin menjadi tanda bagi kecintaankepada Nabi. Menghormati
orang miskin dan
bergaul dengannya, bukan saja berarti mengikuti
sunnahnya, tetapi bahkan menghormatinya.
Dalam sebuah pernyataan, Nabi juga mengatakan faqri fakhri (kemiskinan
adalah kebanggaanku), yang kelak menjadi semboyan kaum zuhad dalam menempuh tangga
tasawuf. Dalam sebuah do’anya, yang sangat terkenal dan menggetarkan hati, Nabi
juga mengucapkan : “Ya
Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang
miskin, dan bangkitkanlah aku kelak di akhirat di kalangan orang miskin”, (shahih Muslim). Tentu saja kemiskinan bukan dalam
konteks material. Bukankah Nabi mendorong umatnya untuk bekerja keras mencari
fadhilah Allah, laksana ‘seekor
burung yang mencari makanan’ dan yang demikian itu lebih
dicintai Allah daripada seorang mukmin yang meminta-minta kepada orang lain?.
Sabdanya yang terkenal, ‘tangan
diatas lebih baik daripada tangan dibawah’.
Pesannya lagi ‘Bertaqwalah
kepada Allah, walau dengan (bersedekah) dengan sebutir kurma’ (al-Bukhari). Bukankah pesan-pesan ini memberi isyarat
agar umatnya mempunyai kecukupan material?. Jadi, kemiskinan dalam doa Nabi
tersebut tidak difahami dalam maknanya secara material, tetapi sebagai suatu
tahapan spiritual berupa pengetahuan manusia akan kerendahan dirinya dan
kemiskinannya di hadapan Tuhan. Manusia yang menempatkan dirinya sebagia fihak
yang butuh kepada Allah. Tuhan dalam persepsi ini adalah Tuhan yang Maha Kaya (al-Ghani), yang
tidak membutuhkan apa-apa dari pihak lain, Dia menjadi tempat tumpuhan segala
harapan semua yang ada, termasuk manusia. Inilah makna firman Allah, “Hai manusia kamulah yang faqir (butuh) kepada Allah dan
Dia Maha Kaya (yang tidak memerlukan
sesuatu) lagi Maha Terpuji”. (QS Fathir, 35: 16).
[Sumardi]
1 komentar:
apakah boleh tulisan ustadz saya kutip di blog saya?
Terima kasih...
Posting Komentar