Jumat, 04 Mei 2012

Etos Kerja dalam Al-Qur'an

 Filsuf Perancis, Rene Descartes ( 1596 – 1650) terkenal karena ucapannya Jepense donc je suis (cogito ergo sum bhs Latin), artinya ‘aku berfikir, maka aku ada’. Ini karena menurutnya berfikir adalah bentuk wujud manusia sesungguhnya. Pandangan ini tidak salah, tetapi kurang mencukupi. Eksistensi manusia tidak semata ditentukan oleh kegiatan berfikirnya, tetapi juga oleh kegiatan berfikirnya, tetapi juga oleh perbuatannya. Dalam teologi Al-Qur’an, ungkapan yang seharusnya ialah ‘aku berbuat, maka aku ada’. Demikian itu karena dalam pandangan al-Qur’an, kerja atau amal adalah bentuk keberadaan manusia yang sesungguhnya. Manusia ada karena kerja (amal), dan kerja itulah yang membuat eksistensi kemanusiaan. Pandangan ini ditegaskan dalam QS. Al-Najm, 53 : 36-42.
Ada banyak faktor yang memotivasi seseorang melakukan suatu perbuatan, misalnya nilai dari pekerjaan yang menantang, tujuan, partisipasi dalam pengambilan keputusan, umpan balik, dan kelompok kerja yang kohensif. Tetapi, menurut Stephen Robbin, ada satu faktor yang sangat dominan selain faktor tersebut, yaitu uang. Uanglah yang menjadi insentif yang menentukan motivasi kerja. Sebagai suatu medium pertukaran, uang merupakan sarana yang dengannya seseorang bisa membeli barang yang dapat memenuhi kebutuhannya. Uang juga melakukan fungsi sebagai kartu skor, yang dengannya para pekerja menilai harga yang diberikan oleh fihak lain atas jasa yang mereka berikan. Argumentasi Robbin adalam “memang orang tidak bekerja hanya untuk uang, tetapi coba buanglah uang itu, maka berapa orang yang masih akan datang untuk bekerja?”
Tetapi,benarkah bahwa uang itu telah sedemikian kuatnya memotivasi seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan? Bukankah tidak setiap orang menganggap bahwa uang itu penting baginya? Para peraih prestasi tinggi, misalnya, secara dengan sendirinya telah termotivasi.
Sejarah Islam di Indonesia sering dikaitkan dengan kegiatan duniawi yaitu perdagangan. Terlepas dari perdebatan kapan Islam pertama masuk ke Indonesia dan dari mana datangnya, -apakah langsung dari Arab atau India Selatan, bahkan mungkin dari China-, Islam tidak dapat dipisahkan dari kegiatan perdagangan internasional waktu itu. Para sejarahwan juga masih mempertanyakan tentang kemungkinan para pedagang sebagai penyebar agama Islam. Apakah pedagang, yang perhatian utamanya adalah mencari keuntungan dagang, benar-benar sanggup menyebarkan agama Islam. Apakah tidka mungkin bahwa yang menyebarkan ajaran Islam itu adalah kaum sufi, yang bergabung dalam jaringan organisasi spiritual atau tarikat? Apakah mungkin bahwa kaum pedagang tersebut juga sekaligus pelaku sufisme? Bagaimana bisa bahwa seorang sufi yang membaktikan hidupnya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, masih sibuk mengurusi kegiatan perdagangan, atau pekerjaan duniawi lainnya? Faktor apa yang mendorong mereka melakukan kegiatan tersebut?
Dalam pandangan Al-Qur’an, harga manusia sangat ditentukan oleh apa yang dimilikinya, dan itu tidak lain adalah amal perbuatan atau kerjanya. Dengan amal perbuatan atau kerjanya. Dengan amal atau kerja baiknya itu manusia tidak hanya menemukan jati dirinya, tetapi akan meraih harkat tertingginya sebagai manusia yaitu ‘bertemu dengan Tuhan dengan penuh ridho-Nya’. “Barangsiapa berharap berjumpa dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan kesalehan-kesalehan dan hendaklah dalam beribadat kepada Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik”, Qs. Al-Kahfi, 18 : 110. Syirik dalam konteks ini, bukan dalam maknanya sebagai melakukan kultus atau pemujaan terhadapa selain Allah, seperti arca dsb, tetapi mengalihkan tujuan melakukan pekerjaan atau amal kepada selain Allah.
ika manusia tidak mendapatkan apa-apa kecuali yang ia kerjakan,  maka hendaklah manusia tidak memandang sepele apapun bentuk kerja yang ia lakukan. Manusia harus memberi makna pada pekerjaannya itu sedemikan rupa sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dalam makna hidupnya yang menyeluruh dan total, yaitu sebgai pengabdian (taqarrub, pendekatan diri) kepada Allah. “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadat kepada-Ku”, QS. Al-Dariyat, 51 : 56
Kerja akan membentuk pribadi manusia. Karenanya, manusia harus memandang kerja itu adalah ‘untuk dirinya sendiri’ dan ‘bukan untuk orang lain’, dalam makna eksistensialnya. Kerja itu akan mengokohkan nilai instrinsik dirinya dan kerja yang demikian itu haruslah diorientasikan kepada Allah.
Tuhan semesta alam, dalam arti untuk meraih ridha-Nya. Bahkan, dalam tradisi sufisme, ia menyerukan kepada manusia untuk menjalankan tugas-tugas duniawi-nya dalam rangka mencapai pemenuhan tingkatan spiritual
Walau demikian, manusia tetap harus menjaga tidak sampai jatuh pada pemahaman yang salah bahwa kerjanya itu, baik atau buruk, dampaknya akan berpengaruh pada eksistensi Tuhan. Kerja itu tidak untuk Tuhan, melainkan untuk manusia itu sendiri. “Barangsiapa yang mengerjakan amal (pekerjaan) yang shaleh maka itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka dosanya atas dirinya sendiri. Sekali-kali Tuhanmu tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya, QS. Fusilat, 41 : 46. “Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan (sebaliknya) jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, QS Bani Israil, 17 : 7. “...Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah ), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji, QS. Luqman, 31: 12
[Sumardi]

Tidak ada komentar: