Filsuf
Perancis, Rene Descartes ( 1596 – 1650) terkenal karena ucapannya Jepense
donc je suis (cogito ergo sum bhs Latin), artinya ‘aku berfikir, maka aku
ada’. Ini karena menurutnya berfikir adalah bentuk wujud manusia sesungguhnya.
Pandangan ini tidak salah, tetapi kurang mencukupi. Eksistensi manusia tidak
semata ditentukan oleh kegiatan berfikirnya, tetapi juga oleh kegiatan berfikirnya, tetapi
juga oleh perbuatannya. Dalam teologi Al-Qur’an, ungkapan yang seharusnya ialah
‘aku berbuat, maka aku ada’. Demikian itu karena dalam pandangan al-Qur’an,
kerja atau amal adalah bentuk keberadaan manusia yang sesungguhnya. Manusia ada
karena kerja (amal), dan kerja itulah yang membuat eksistensi kemanusiaan.
Pandangan ini ditegaskan dalam QS. Al-Najm, 53 : 36-42.
Ada banyak faktor yang memotivasi seseorang melakukan
suatu perbuatan, misalnya nilai dari pekerjaan yang menantang, tujuan,
partisipasi dalam pengambilan keputusan, umpan balik, dan kelompok kerja yang
kohensif. Tetapi, menurut Stephen Robbin, ada satu faktor yang sangat dominan
selain faktor tersebut, yaitu uang. Uanglah yang menjadi insentif yang
menentukan motivasi kerja. Sebagai suatu medium pertukaran, uang merupakan
sarana yang dengannya seseorang bisa membeli barang yang dapat memenuhi
kebutuhannya. Uang juga melakukan fungsi sebagai kartu
skor, yang dengannya para pekerja menilai harga yang diberikan oleh fihak lain
atas jasa yang mereka berikan. Argumentasi Robbin adalam “memang orang tidak
bekerja hanya untuk uang, tetapi coba buanglah uang itu, maka berapa orang yang
masih akan datang untuk bekerja?”
Tetapi,benarkah bahwa uang itu telah sedemikian
kuatnya memotivasi seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan? Bukankah tidak
setiap orang menganggap bahwa uang itu penting baginya? Para peraih prestasi
tinggi, misalnya, secara dengan sendirinya telah termotivasi.
Sejarah Islam di Indonesia sering dikaitkan dengan kegiatan
duniawi yaitu perdagangan. Terlepas dari perdebatan kapan Islam pertama masuk
ke Indonesia dan dari mana datangnya, -apakah langsung dari Arab atau India
Selatan, bahkan mungkin dari China-, Islam tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
perdagangan internasional waktu itu. Para sejarahwan juga masih mempertanyakan
tentang kemungkinan para pedagang sebagai penyebar agama Islam. Apakah
pedagang, yang perhatian utamanya adalah mencari keuntungan dagang, benar-benar
sanggup menyebarkan agama Islam. Apakah tidka mungkin bahwa yang menyebarkan
ajaran Islam itu adalah kaum sufi, yang bergabung dalam jaringan organisasi
spiritual atau tarikat? Apakah mungkin bahwa kaum pedagang tersebut juga
sekaligus pelaku sufisme? Bagaimana bisa bahwa seorang sufi yang membaktikan hidupnya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, masih
sibuk mengurusi kegiatan perdagangan, atau pekerjaan duniawi lainnya? Faktor
apa yang mendorong mereka melakukan kegiatan tersebut?
Dalam pandangan Al-Qur’an, harga manusia sangat
ditentukan oleh apa yang dimilikinya, dan itu tidak lain adalah amal perbuatan
atau kerjanya. Dengan amal perbuatan atau kerjanya. Dengan amal atau kerja
baiknya itu manusia tidak hanya menemukan jati dirinya, tetapi akan meraih
harkat tertingginya sebagai manusia yaitu ‘bertemu dengan Tuhan dengan penuh
ridho-Nya’. “Barangsiapa berharap berjumpa dengan Tuhannya, maka hendaklah
ia mengerjakan kesalehan-kesalehan dan hendaklah dalam beribadat kepada
Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik”, Qs. Al-Kahfi, 18 : 110. Syirik dalam
konteks ini, bukan dalam maknanya sebagai melakukan kultus atau pemujaan
terhadapa selain Allah, seperti arca dsb, tetapi mengalihkan tujuan melakukan
pekerjaan atau amal kepada selain Allah.
ika manusia tidak mendapatkan apa-apa kecuali yang ia kerjakan, maka hendaklah manusia tidak memandang sepele
apapun bentuk kerja yang ia lakukan. Manusia harus memberi makna pada
pekerjaannya itu sedemikan rupa sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dalam
makna hidupnya yang menyeluruh dan total, yaitu sebgai pengabdian (taqarrub,
pendekatan diri) kepada Allah. “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia
kecuali agar mereka beribadat kepada-Ku”, QS. Al-Dariyat, 51 : 56
Kerja akan membentuk pribadi manusia. Karenanya,
manusia harus memandang kerja itu adalah ‘untuk dirinya sendiri’ dan ‘bukan
untuk orang lain’, dalam makna eksistensialnya. Kerja itu akan mengokohkan
nilai instrinsik dirinya dan kerja yang demikian itu haruslah diorientasikan
kepada Allah.
Tuhan semesta alam, dalam arti untuk meraih ridha-Nya.
Bahkan, dalam tradisi sufisme, ia menyerukan kepada manusia untuk menjalankan
tugas-tugas duniawi-nya dalam rangka mencapai pemenuhan tingkatan spiritual
Walau demikian, manusia tetap harus menjaga tidak
sampai jatuh pada pemahaman yang salah bahwa kerjanya itu, baik atau buruk,
dampaknya akan berpengaruh pada eksistensi Tuhan. Kerja itu tidak untuk Tuhan,
melainkan untuk manusia itu sendiri. “Barangsiapa yang mengerjakan amal
(pekerjaan) yang shaleh maka itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang
berbuat jahat, maka dosanya atas dirinya sendiri. Sekali-kali Tuhanmu tidak
akan menganiaya hamba-hamba-Nya, QS. Fusilat, 41 : 46. “Jika kamu
berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan (sebaliknya)
jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, QS Bani
Israil, 17 : 7. “...Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah ), maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak
bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji, QS. Luqman,
31: 12
[Sumardi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar