Jumat, 04 Mei 2012

Teladan Kenabian

   Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyatakan dirinya mempunyai kelebihan sifat supra-manusiawi. Dia tetap ingin menjadi ‘seorang hamba yang kepadanya wahyu diturunkan’ (QS. Fusilat 41 : 5). Ketika Nabi ditantang oleh masyarakat Makkah untuk menunjukkan mu’jizat, dia selalu mengatakan bahwa dirinya hanya menerima wahyu ilahi dalam bahasa Arab yang sangat jelas, sambil mengutip firman Allah, “ Katakanlah, Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa khazanah Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang gaib. Juga aku tidak mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku”, (QS. Al An’am 6 : 50). ”Mengapa tidak diturunkan kepadanya mu’jizat-mu’jizat dari Tuhannya. (jawablah) : Sesungguhnya mu’jizat-mu’jizat itu terserah Allah. Sesungguhnya, aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata”, (QS Al-Ankabut 29 : 50). Meskipun masyarakat Makkah mempunyai kefasihan berbahasa dan puisi-puisi tradisionalnya sangat tinggi mutunya, namun mereka tidak mampu menggubah satu kalimat pun yang dapat disandingkan dengan Al-Qur’an, baik dalam bentuk maupun isinya. “Seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul untuk membuat gubahan seperti Al-Qur’an ini, mereka tidak akan mampu membuat seperti itu, sekalipun mereka saling bantu-membantu”,(QS Al-An’am 6 : 37)
    Ketika Nabi mengemukakan doktrin hari kiamat, masyarakat Makkah menanyakan kepadanya (sambil mengejeknya), kapankah terjadinya. Nabi hanya menjawab bahwa dirinya tidak diberitahu kapan terjadinya, seraya mengatakan bahwa dirinya hanya seorang pemberi peringatan yang nyata (QS AL-A’raf 7 : 187-188)
   Dalam beberapa bagiannya, Al-Qur’an menunjukkan bahwa Nabi Muhammad mempunyai peran yang istimewa. Jika Allah mengajarkan ‘nama-nama’ kepada nabi Adam, maka Allah mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad (QS. Al-Rahman 55 : 2). Apa yang diucapkannya adalah wahyu Allah (QS. Al-Najm 53:4). Karenanya, umat  Islam diwajibkan mengikuti tauladan Nabi. “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul semoga kamu memperoleh rahmat:, (QS. Al-Imran 3:122). Taat kepada Nabi, adalah tanda taat dan cinta kepada Allah, “Barangsiapa yang taat kepada rasul maka dia taat kepada Allah”, (QS. Al-Ahzab 33 : 21). “Apa saja yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa saja yang dilarangnya, maka tinggalkanlah”, (QS. Al-Hasyr 59:7). Kepatuhan kepada rasul memainkan peranan yang penting dalam perkembangan spiritual Islam. Bahkan seperti dinyatakan oleh Frithjof Schoun dalam bukunya Islam and Porenial Philosophy (London: 1976, hal.96), ketika membahas proses pencapaian maqam kesufian al-Hubb (cinta kepada Allah ) : “jika engkau ingin Allah mencintaimu, maka engkau harus mencintai rasul-Nya dengan mengikuti sunnahnya”. Ini seperti yang dipesankan Qur’an “Jika kau benar-benar cinta kepada Allah, maka turutilah aku, pasti Allah akan mencintaimu dan sekaligus mengampuni dosa-dosamu”, (QS. Ali Imran 3 : 31). Imitatio Muhammadi (peniruan terhadap tindakan Nabi Muhammad atau ittiba’ Nabi), inilah yang ditekankan oleh pesan al-Qur’an diatas. Para sahabat Nabi berusaha menirunya sedetail-detailnya, bahkan sampai pada tingkat seharfiyah mungkin. Ketika Umar, seorang sahabat Nabi yang terkenal keras itu, akan mencium hajar aswad, masih mengatakan: “Seandainya aku tidak melihat Nabi menciummu, pasti aku tidak akan menciummu”, (al-Bukhari)
Bila Nabi hendak tidur, Kata Aisyah, dilipatkanlah tangannya dan membaca surat Qul Huwallahu ahad, dan muawwidhatan (surat al-Falaq dan al-Nass), lalu mengusapkan tangannya ke seluruh tubuhnya. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad juga mengatakan: “ Aku memohon ampunan seratus kali setiap hari ”, meskipun ungkapan ini secara harfiyah tampaknya bertentangan dengan doktrin ishmah (kemaksuman) Nabi, yaitu bebas dari dosa dan cacat moral. Namun, dengan doanya ini, betapa Nabi tampak sangat rendah hari dari segala keunggulan yang dimilikinya. Ittiba’ Nabi itu meliputi semua aspek kehidupan, baik perilaku, ucapan, sikap mental dan kualitas spiritualnya.
    Nabi juga mengajarkan norma-norma etika yang universal. Seseorang bertanya kepadanya. Apakah kebaikan itu? Jawabannya: “Kebaikan itu adalah jika jiwa merasa damai dan hati merasa tentram, dan dosa ialah yang menimbulkan kegelisahan dalam jiwa dan kegalauan di dada”. Dan ketika ditanya oleh seseorang, apakah Islam yang terbaik itu, Nabi menjawab, “Islam yang terbaik adalah bahwa kamu memberi makan kepada orang yang lapar dan menyebarkan kedamaian (salam) diantara orang yang kamu kenal maupun yang tak kamu kenal” (Al-Bukhari).Info K

    Dikisahkan bahwa ada seorang yang datang kepada Nabi dan berkata kepadanya: “Aku mencintamu, hai Rasulullah”. Nabi  menjawab : “Bersiaplah menerima kemiskinan”. Kemiskinan material yang dialami oleh Nabi dan keluarganya telah menjadi tema penting dalam tradisi sufi. Bahkan putrinya, Fatimah, (seperti dikisahkan dalam tradisi ahl-bait), mengalami kelaparan bermalam-malam. Kisah-kisah yang menggetarkan jiwa ini haruslah ditempatkan dalam konteks yang tepat. Kemiskinan yang dialami oleh Nabi itu adalah hasil bentukan proses sosial zamannya. Jika demikian, maka pesan Nabi tentang kemiskinan itu, apa maknanya? Dengan sabdanya itu, seolah-olah Nabi  ingin menyampaikan bahwa kecintaan kepada kaum miskin menjadi tanda bagi kecintaankepada Nabi. Menghormati orang miskin dan
bergaul dengannya, bukan saja berarti mengikuti sunnahnya, tetapi bahkan menghormatinya.

    Dalam sebuah pernyataan, Nabi juga mengatakan faqri fakhri (kemiskinan adalah kebanggaanku), yang kelak menjadi semboyan kaum zuhad dalam menempuh tangga tasawuf. Dalam sebuah do’anya, yang sangat terkenal dan menggetarkan hati, Nabi juga mengucapkan : “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan bangkitkanlah aku kelak di akhirat di kalangan orang miskin”, (shahih Muslim). Tentu saja kemiskinan bukan dalam konteks material. Bukankah Nabi mendorong umatnya untuk bekerja keras mencari fadhilah Allah, laksana ‘seekor burung yang mencari makanan’ dan yang demikian itu lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang meminta-minta kepada orang lain?. Sabdanya yang terkenal, ‘tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah’. Pesannya lagi ‘Bertaqwalah kepada Allah, walau dengan (bersedekah) dengan sebutir kurma’ (al-Bukhari). Bukankah pesan-pesan ini memberi isyarat agar umatnya mempunyai kecukupan material?. Jadi, kemiskinan dalam doa Nabi tersebut tidak difahami dalam maknanya secara material, tetapi sebagai suatu tahapan spiritual berupa pengetahuan manusia akan kerendahan dirinya dan kemiskinannya di hadapan Tuhan. Manusia yang menempatkan dirinya sebagia fihak yang butuh kepada Allah. Tuhan dalam persepsi ini adalah Tuhan yang Maha Kaya (al-Ghani), yang tidak membutuhkan apa-apa dari pihak lain, Dia menjadi tempat tumpuhan segala harapan semua yang ada, termasuk manusia. Inilah makna firman Allah, “Hai manusia kamulah yang faqir (butuh) kepada Allah dan Dia Maha Kaya (yang tidak  memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”. (QS Fathir, 35: 16). 
[Sumardi]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

apakah boleh tulisan ustadz saya kutip di blog saya?
Terima kasih...